INDONESIA memasuki babak baru dalam kebijakan lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi meluncurkan Peraturan Menteri LH No. 02 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH). Aturan ini membawa angin segar bagi para penjaga ekosistem: dari masyarakat adat, petani hutan, hingga komunitas lokal yang selama ini bekerja tanpa imbalan.
“Siapa yang menjaga, harus kita jaga. Siapa yang melindungi alam, harus kita lindungi,” ujar Menteri LHK, Hanif Faisol Nurofiq dalam kunjungannya ke Klaten, Jawa Tengah.
Dari Sukarela ke Sistem Insentif
Selama bertahun-tahun, konservasi di Indonesia identik dengan kerja sukarela. Banyak individu dan kelompok masyarakat menjaga hutan, sungai, dan sumber daya alam lainnya tanpa dukungan memadai.
Dengan regulasi PJLH ini, pemerintah mengubah pendekatan. Konservasi kini dianggap sebagai jasa penting dalam pembangunan nasional—dan layak mendapatkan kompensasi. Regulasi ini menjadi turunan dari Pasal 48 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Jalan Panjang Menuju Pengesahan
Pendekatannya jelas: memberi insentif kepada mereka yang menjaga fungsi ekosistem, baik air, karbon, maupun keanekaragaman hayati. Skema ini tak hanya menghitung hasil, tapi juga membuka ruang partisipasi multipihak—pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil—dalam menciptakan ekosistem ekonomi berkelanjutan.
Contoh Nyata, Cidanau dan Sumberjaya
Praktik PJLH sebenarnya sudah dimulai dalam skala kecil di beberapa daerah.
Di Cidanau, Banten, petani hutan menerima hingga 125 dolar AS per hektare dari perusahaan air minum, sebagai kompensasi atas peran mereka menjaga hulu. Yang menarik, sebagian besar dari mereka (sekitar 71%) sudah lebih dulu menjaga hutan sebelum adanya pembayaran.

Di Sumberjaya, Lampung, pemerintah memberi hak kelola selama 25 tahun kepada petani yang menerapkan praktik konservasi. Hasilnya, sedimentasi sungai menurun drastis, kualitas ekosistem meningkat, dan petani mendapat kepastian usaha jangka panjang.
Pilar Baru Ekonomi Hijau
Melalui kebijakan ini, Indonesia menegaskan posisi strategisnya sebagai pelopor ekonomi hijau di Asia Tenggara. Kebijakan PJLH bukan sekadar instrumen administratif, tapi kerangka ekonomi alternatif yang mengintegrasikan pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan dalam Krisis Global
Pemerintah akan mengembangkan sistem informasi nasional PJLH. Tujuannya? Menjamin transparansi dan akuntabilitas. Sumber dananya beragam: mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), APBD, program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), hingga donasi sah dari masyarakat.
Dengan skema yang jelas, diharapkan makin banyak pihak terlibat dalam skema PJLH. Masyarakat lokal tak lagi berada di pinggir, tapi di pusat pembangunan berkelanjutan.
Mengubah Paradigma
Pernyataan Menteri Hanif menegaskan pergeseran besar dalam cara pandang pembangunan. Konservasi bukan lagi sisa atau pelengkap, melainkan fondasi utama. Dalam konteks krisis iklim, pendekatan ini menjadi sangat relevan.
Baca juga: Jalan Melingkar Konservasi Alam Indonesia
Selain itu, PJLH menciptakan ruang untuk perhitungan nilai jasa lingkungan secara objektif dan terukur. Ke depan, nilai tutupan hutan, kualitas air, dan stabilitas tanah dapat dihitung dalam skala ekonomi. Dan para pelindungnya diberi imbalan yang layak.
Pintu Masuk Model Lebih Adil dan Ekologis
Meski menjanjikan, implementasi PJLH tak akan mudah. Dibutuhkan kesiapan institusi, data spasial yang valid, sistem verifikasi yang transparan, dan mekanisme distribusi yang adil. Namun, dengan semangat kolaborasi dan keberpihakan pada penjaga alam, tantangan ini bisa dihadapi.
Regulasi ini adalah pintu masuk menuju model pembangunan yang lebih adil dan ekologis. Bukan hanya untuk masa kini, tapi juga untuk generasi mendatang. ***
- Foto: Ilustrasi/ Alex Moliski/ Pexels.