PASAR global teknologi energi bersih sedang mengalami lonjakan signifikan. Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan bahwa nilai pasar teknologi bersih, yang meliputi PV surya, turbin angin, kendaraan listrik, baterai, elektroliser, dan pompa panas, akan tumbuh tiga kali lipat dalam satu dekade ke depan.
Pada 2035, angkanya diperkirakan akan menyentuh 2 triliun dolar AS, dari 700 miliar dolar AS pada 2023. Lonjakan ini menandakan komitmen negara-negara besar untuk memperkuat energi terbarukan sebagai strategi utama dalam industri dan ekonomi.
Pertumbuhan pasar ini tidak hanya berdampak pada perubahan energi, tetapi juga memicu kebutuhan akan investasi besar dalam infrastruktur dan bahan baku utama, seperti baja dan aluminium.
Baca juga: Energi Terbarukan Menciptakan Jutaan Pekerjaan
Menurut laporan, mencapai target emisi nol pada 2050 akan membutuhkan investasi sekitar 80 miliar dolar AS per tahun hingga pertengahan abad ini. Hal ini mendorong perlombaan global untuk teknologi yang lebih efisien dalam produksi bahan-bahan tersebut.
Teknologi Surya dan Baterai Jadi Primadona
Data dari IEA menunjukkan bahwa sebanyak 80 persen dari total investasi teknologi bersih pada 2023 dihabiskan untuk produksi PV surya dan baterai. Dorongan ini sejalan dengan kebutuhan untuk menekan emisi karbon dan meningkatkan keamanan energi. Terutama di tengah ketidakpastian harga energi global.
Baca juga: Bank Dunia Beberkan Peluang Ekonomi Hijau Indonesia
Investasi dalam PV surya dan baterai diharapkan terus meningkat, menciptakan peluang bagi perusahaan di sektor energi terbarukan untuk memperluas jangkauan dan kapasitas produksinya
Dominasi China dan Tantangan bagi Negara Berkembang
Saat ini, China memimpin dalam manufaktur teknologi bersih dengan biaya produksi yang jauh lebih rendah dibandingkan kawasan lain. Produksi teknologi bersih di Amerika Serikat, misalnya, rata-rata 40 persen lebih mahal, sedangkan di Eropa bisa mencapai 45 persen lebih tinggi.
Kendati demikian, laporan IEA menyoroti bahwa pasar teknologi bersih tidak harus terpusat di satu negara. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki peluang besar untuk terlibat lebih jauh dalam rantai pasok energi bersih dunia.
Baca juga: Investor Taiwan Incar Energi Hijau Indonesia
Dengan dukungan investasi yang tepat dan kemitraan strategis, Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika berpotensi menjadi pemain kunci dalam sektor ini. Laporan IEA menyarankan pentingnya strategi untuk menarik investor, menekan biaya produksi, dan memperluas teknologi yang sudah ada.
“Pertumbuhan manufaktur dan perdagangan teknologi energi bersih seharusnya menguntungkan banyak negara, bukan hanya segelintir negara besar,” kata Direktur Eksekutif IEA. Fatih Birol.
Indonesia: Siapkah Menangkap Peluang?
Bagi Indonesia, momentum ini bisa menjadi peluang untuk meningkatkan industri hijau dalam negeri. Kebijakan ramah investasi, dukungan pada inovasi lokal, dan pengembangan kapasitas tenaga kerja adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat dari lonjakan pasar teknologi bersih global.
Baca juga: Indonesia-Prancis Perkuat Transisi Energi Bersih
Menjadi bagian dari rantai nilai energi terbarukan tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia dalam peta ekonomi hijau. Tetapi, juga berkontribusi pada pengurangan emisi global. Sejalan dengan komitmen internasional untuk menghadapi perubahan iklim.
Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya memiliki kesempatan besar untuk menjadi produsen teknologi bersih, bukan sekadar konsumen. Memanfaatkan potensi ini akan memperkuat kemandirian energi, menciptakan lapangan kerja hijau, dan menempatkan Indonesia di garda depan transformasi energi bersih global.***
- Foto: Ilustrasi/ İbrahim Can Dayıoglu/ Pexels – Pertumbuhan teknologi bersih global semakin pesat. Negara-negara berlomba mendorong energi terbarukan sebagai langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.