BUSAN, Korea Selatan menjadi saksi penting upaya dunia menghadapi krisis sampah plastik. Sejak 25 November hingga 1 Desember 2024, Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) berlangsung dengan tujuan menciptakan Perjanjian Plastik Global. Konferensi ini dihadiri 175 negara, badan PBB, lembaga donor, pelaku usaha, hingga organisasi sipil sosial (CSO).
Indonesia, yang diwakili oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono, membawa misi besar: mendorong negosiasi yang menghasilkan traktat bersejarah, setara dengan Perjanjian Paris 2015 untuk perubahan iklim.
Namun, perjalanan menuju kesepakatan ini tak sepenuhnya mulus. Beberapa negara produsen minyak dan gas, sebagai bahan baku plastik, dianggap mengulur waktu. Hal ini mendorong Diaz untuk bersikap tegas.
“Indonesia percaya kita harus memulai negosiasi sekarang. Waktu yang kita miliki di Busan ini sangat berharga untuk mencapai kesepakatan yang baik,” tegasnya.
Peran Penting Perjanjian Plastik Global
Perjanjian Plastik Global diharapkan menjadi instrumen hukum yang mengikat secara internasional. Fokusnya meliputi pengelolaan plastik dari hulu hingga hilir, mencakup pengurangan produksi, transisi ke sistem daur ulang, dan penerapan solusi guna ulang.
Menurut Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira, perjanjian ini harus tegas dalam menanggapi masalah plastik sekali pakai. “Plastik sekali pakai adalah penyumbang sampah terbesar dan sulit terdaur ulang. Solusi harus dimulai dari hulu,” ujarnya.
Baca juga: Perusahaan Top Dunia Berlomba Tetapkan Target Karbon
Tiza juga menyoroti potensi ekonomi dari sistem guna ulang. Berdasarkan studi Dietplastik Indonesia, transisi ke solusi guna ulang untuk menggantikan sachet dapat menghasilkan nilai ekonomi bersih hingga Rp1,5 triliun pada 2030. Namun, ia menegaskan, sistem ini memerlukan standar dan infrastruktur yang memadai, serta dukungan kebijakan pemerintah.
Tantangan di Tengah Harapan
Meski Indonesia dan mayoritas negara lain berharap negosiasi selesai di Busan, risiko kegagalan tetap ada. Jika kesepakatan tidak tercapai, United Nations Environment Program (UNEP) harus kembali menginisiasi mandat negosiasi baru tahun depan.
Ketegangan muncul ketika beberapa negara besar penghasil bahan baku plastik terlihat berupaya menunda pembahasan. Langkah ini dikhawatirkan akan memperpanjang perjalanan menuju kesepakatan global yang sangat dibutuhkan.
Namun, dukungan kuat dari berbagai pihak memberi harapan besar. Delegasi Indonesia sendiri terdiri dari berbagai kementerian, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Luar Negeri, serta akademisi yang memberikan perspektif lintas sektor.

Menuju Solusi Berbasis Guna Ulang
Salah satu gagasan kunci dalam Perjanjian Plastik Global adalah penerapan target guna ulang. Strategi ini dinilai lebih efektif dibandingkan sekadar penanganan sampah di hilir. Dalam konteks ini, Tiza Mafira menegaskan bahwa kebijakan dan pendanaan harus difokuskan pada pencegahan sampah plastik.
“Solusi harus dari hulu. Misalnya, pengurangan plastik sekali pakai melalui kebijakan guna ulang yang didukung oleh infrastruktur dan standar global,” jelasnya.
Baca juga: Menggugat Dana Perusak Alam di COP29
Konsep ini mendapat perhatian karena tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga berpotensi menciptakan dampak ekonomi positif, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Mengubah Paradigma Global
INC-5 di Busan adalah langkah besar menuju dunia tanpa sampah plastik. Bagi Indonesia, konferensi ini juga menjadi kesempatan menunjukkan kepemimpinan global dalam isu keberlanjutan.
Melalui Perjanjian Plastik Global, dunia berpeluang menciptakan masa depan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Namun, keberhasilan ini bergantung pada komitmen bersama seluruh negara.
Sebagaimana disampaikan Diaz Hendropriyono, waktu terus berjalan. “Ini adalah momen penting. Kita harus bergerak cepat untuk menyepakati solusi yang bermanfaat bagi generasi mendatang,” katanya menutup pidatonya di Sidang Pleno INC-5. ***
- Foto: X/ @andersen_inger.