SETELAH lebih dari satu dekade menutup pintu bagi pendanaan proyek energi nuklir, Bank Dunia akhirnya mengubah haluan. Keputusan penting ini membuka babak baru bagi negara berkembang dalam memenuhi lonjakan kebutuhan listrik yang kian mendesak.
Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengumumkan langkah strategis ini sebagai bagian dari revisi besar strategi energi lembaga keuangan global tersebut. Menurut Banga, kebijakan baru ini menjawab kebutuhan realistis negara-negara berkembang yang dihadapkan pada tantangan pembiayaan energi bersih, keterbatasan infrastruktur, dan krisis iklim yang kian nyata.
Menjawab Lonjakan Permintaan Listrik
Dalam penjelasannya, Banga mengungkapkan bahwa permintaan listrik di negara berkembang diperkirakan akan melonjak lebih dari dua kali lipat pada 2035. Untuk mengejar target itu, diperlukan investasi tahunan lebih dari dua kali lipat dari angka saat ini, yakni sekitar USD 280 miliar atau setara Rp 4.551 triliun.
Baca juga: Masa Depan Energi Nuklir, Rekor Baru di Depan Mata
Lonjakan kebutuhan tersebut bukan sekadar soal pembangunan ekonomi. Ketersediaan listrik menjadi pondasi bagi layanan kesehatan, pendidikan, serta industrialisasi yang inklusif. Di sinilah energi nuklir kembali masuk dalam radar kebijakan Bank Dunia, setelah sempat dilarang sejak 2013.
Pijakan Realistis dalam Transisi Energi
Keputusan Bank Dunia ini muncul di tengah perdebatan panjang tentang bauran energi global. Sebagian pihak menilai energi nuklir sebagai solusi bersih dan stabil, sementara sebagian lain menyoroti risiko keamanan dan potensi limbah radioaktif jangka panjang.
Meski begitu, Bank Dunia menegaskan komitmennya pada aspek keamanan dan pengawasan. Lembaga ini akan bekerja sama erat dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk memastikan proyek nuklir yang didanai memenuhi standar pengamanan non-proliferasi, keselamatan, dan kerangka regulasi yang ketat.
Baca juga: Indonesia Pertimbangkan 29 Lokasi PLTN untuk Energi Bersih
Selain memperluas pendanaan untuk pengembangan reaktor baru, Bank Dunia juga membuka peluang untuk memperpanjang umur reaktor eksisting dan mempercepat adopsi teknologi reaktor modular kecil (SMR) yang dinilai lebih fleksibel dan aman.
Masih Ada Perdebatan di Meja Dewan
Meski keputusan terkait energi nuklir disepakati relatif cepat, perdebatan masih berlangsung di internal Dewan Bank Dunia, khususnya terkait pendanaan proyek gas alam. Beberapa negara pemegang saham besar seperti Jerman, Prancis, dan Inggris belum sepenuhnya mendukung keterlibatan Bank Dunia dalam pembiayaan gas hulu.

Banga menyebut, pembahasan seputar gas alam masih memerlukan diskusi mendalam. Di satu sisi, gas dinilai sebagai solusi transisi yang lebih bersih dibanding batu bara. Di sisi lain, kekhawatiran muncul soal potensi ketergantungan baru terhadap bahan bakar fosil, yang bisa menghambat percepatan transisi energi terbarukan.
Jalan Tengah, Semua Opsi Energi Dibuka
Strategi Bank Dunia yang baru mengadopsi pendekatan “all of the above”. Artinya, negara berkembang diberikan keleluasaan memilih kombinasi sumber energi yang paling sesuai dengan kondisi dan target pembangunan masing-masing.
Banga menegaskan, Bank Dunia tetap akan mendorong pengembangan energi terbarukan seperti surya, angin, panas bumi, dan hidro. Namun dalam kasus tertentu, pendanaan gas alam atau nuklir tetap bisa diberikan jika terbukti menjadi opsi paling efisien secara biaya, minim risiko, dan sejalan dengan rencana pembangunan nasional.
Baca juga: Energi Nuklir, Solusi Bersih Indonesia untuk 2032
Selain itu, Bank Dunia juga menyatakan siap mendukung pembiayaan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara, penangkapan karbon untuk sektor industri, dan eksplorasi teknologi energi baru seperti penangkapan karbon laut.
Pergeseran Besar dalam Diplomasi Energi Global
Keputusan ini secara tidak langsung juga mencerminkan perubahan geopolitik dalam kebijakan energi global. Amerika Serikat, sebagai pemegang saham terbesar Bank Dunia, sejak era pemerintahan Donald Trump memang mendorong penghapusan larangan proyek nuklir. AS memandang energi nuklir dan gas sebagai bagian dari upaya memperluas akses energi sekaligus mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Namun, langkah ini tetap mengundang reaksi dari komunitas aktivis iklim yang khawatir arah pendanaan Bank Dunia bisa menjauh dari cita-cita energi bersih sepenuhnya. Mereka mengingatkan pentingnya mengoptimalkan potensi energi terbarukan yang kian kompetitif dan ramah lingkungan.
Dengan kebijakan baru ini, Bank Dunia menghadirkan ruang kompromi: realisme kebutuhan pembangunan negara berkembang disandingkan dengan tetap mengusung prinsip keberlanjutan global. ***
- Foto: Ilustrasi/ Michael Gattorna/ Pexels.