HOLLYWOOD kembali menjadi pusat perhatian dunia. Kali ini bukan karena blockbuster atau aktor papan atas, melainkan kemunculan Tilly Norwood, aktris yang sepenuhnya diciptakan oleh kecerdasan buatan (AI).
Tilly adalah kreasi Particle6, studio milik produser Eline Van der Velden, melalui divisi AI-talent Xicoia. Dengan dukungan mesin DeepFame, Tilly dirancang memiliki kepribadian, gaya bicara, hingga kemampuan berinteraksi di media sosial, seolah-olah ia benar-benar hidup.
Bagi sebagian orang, Tilly dianggap terobosan yang membuka ruang kreativitas tanpa batas anggaran. Namun, bagi yang lain, ia simbol ancaman terhadap pekerjaan dan nilai-nilai kemanusiaan di industri hiburan.
Teknologi yang Lebih Hijau, tapi Tidak Bebas Jejak Karbon
Penggunaan aktor AI menjanjikan pengurangan biaya dan dampak lingkungan. Produksi film dengan aktor manusia membutuhkan transportasi kru, logistik, perjalanan udara, hingga set syuting yang padat energi.
“Kami ingin Tilly menjadi Scarlett Johansson atau Natalie Portman berikutnya. AI menghapus hambatan biaya bagi kreativitas,” ujar Van der Velden, dikutip dari Variety.
Baca juga: Menteri Virtual Albania dan Masa Depan ESG Governance di Sektor Publik
Secara teori, pemangkasan proses produksi ini bisa menurunkan jejak karbon. Namun, di balik layar, pelatihan model AI skala besar juga membutuhkan pusat data berdaya listrik tinggi. Jika energi yang digunakan tidak berasal dari sumber terbarukan, jejak emisinya tetap signifikan.
Bagi penggiat ESG, inilah paradoks yang perlu dicermati. Apakah AI benar-benar solusi hijau atau hanya memindahkan emisi dari lokasi syuting ke pusat data?
Ketegangan Etika dan Hak Pekerja Seni
Kehadiran Tilly memantik perlawanan SAG-AFTRA, serikat aktor terbesar di AS. Mereka menilai penggunaan aktor virtual mengancam ribuan pekerja seni dan melanggar hak cipta.
“Tilly Norwood bukan aktor. Ia adalah karakter yang dihasilkan program komputer, dilatih dari karya para penampil profesional tanpa izin atau kompensasi,” tegas pernyataan resmi SAG-AFTRA.

Isu ini mencerminkan dilema yang lebih luas, bagaimana memastikan inovasi digital tidak menindas hak pekerja kreatif yang karyanya menjadi fondasi data untuk melatih AI?
Kreativitas yang Berpihak pada Manusia
Van der Velden membantah tuduhan bahwa AI akan menggusur peran aktor sungguhan. Menurutnya, Tilly adalah medium seni baru, bukan pengganti manusia.
“Saya melihat AI bukan sebagai ancaman, tetapi kuas baru untuk menciptakan karya,” ujarnya kepada Deadline. Ia membandingkan AI dengan animasi atau CGI yang juga dulu sempat ditentang, namun akhirnya menjadi bagian industri film.
Baca juga: Diella dan Babak Baru Governance Albania, Antara Inovasi AI dan Sengketa Konstitusi
Namun, banyak analis ESG menekankan perlunya AI governance dan model kompensasi yang adil, agar teknologi tidak hanya menjadi alat bagi investor dan studio untuk memangkas biaya produksi sambil menyingkirkan pekerja.
Cermin bagi Indonesia
Kisah Tilly menjadi peringatan dini bagi industri kreatif di negara lain, termasuk Indonesia, yang mulai memanfaatkan AI untuk dubbing, animasi, hingga pembuatan konten.
Tanpa regulasi yang jelas soal hak cipta, perlindungan pekerja, dan penggunaan energi untuk AI, transformasi digital berisiko menimbulkan ketimpangan sosial dan menghambat agenda keberlanjutan.
Tilly Norwood membuka peluang bagi Hollywood untuk memproduksi film dengan lebih efisien dan ramah lingkungan. Namun, keberhasilan inovasi ini ditentukan oleh kemampuan industri dan regulator untuk menyeimbangkan efisiensi ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.
Bagi dunia hiburan global, termasuk Indonesia, pertanyaan mendasarnya tetap sama, bagaimana memastikan teknologi tidak menghapus kemanusiaan dari panggung seni? ***
- Foto: Instagram/tillynorwood – Tilly Norwood, aktris pertama berbasis AI yang kini jadi sorotan industri hiburan Hollywood.


