BRASIL, tuan rumah COP30 tahun depan, tengah menjadi sorotan di Jenewa. Dalam perundingan PBB pekan ini untuk menyusun perjanjian global mengakhiri polusi plastik, posisi Brasil dinilai tidak lagi seambisius sebelumnya. Sikap ini memunculkan tanda tanya besar, apakah negara dengan kekuatan diplomatik di Amerika Latin itu masih ingin tampil sebagai pemimpin, atau justru bergeser ke barisan produsen minyak yang enggan menahan laju produksi plastik?
Dari Pendukung Larangan ke Jalur Moderat
Pada pertemuan akhir tahun lalu di Korea, Brasil berdiri bersama Meksiko dan Swiss mendukung larangan atas plastik sekali pakai. Lebih dari 100 negara mendukung langkah itu. Namun, di Jenewa kali ini, Brasil menarik diri dari konsensus tersebut. Alih-alih mendorong pembatasan produksi, Brasil lebih menekankan pengelolaan limbah dan desain produk, dengan syarat adanya dukungan finansial.
Posisi itu, menurut sebelas diplomat yang berbicara kepada Climate Home, semakin mendekatkan Brasil ke arah kelompok negara produsen minyak besar. Kelompok ini dikenal menolak intervensi pada hulu produksi, dan lebih memilih solusi berbasis daur ulang atau komitmen sukarela.
Sinyal Buruk Menjelang COP30
Bagi pengamat iklim, pergeseran sikap ini lebih dari sekadar diplomasi teknis. Juan Carlos Monterrey, ketua delegasi Panama, menilai langkah Brasil akan terbaca global sebagai “gambaran awal” sikap tuan rumah COP30 di Belem tahun depan.
Baca juga: Plastik Global, Konsensus Sulit di Tengah Lobi dan Politik Minyak
Jika Brasil tampil setengah hati dalam isu plastik, maka ekspektasi terhadap komitmen lebih besar dalam agenda iklim bisa terkikis. Hal ini krusial, mengingat hampir semua plastik diproduksi dari bahan bakar fosil, faktor utama pemanasan global, dan produksinya diperkirakan berlipat ganda dalam 25 tahun mendatang.

Antara Pendanaan dan Kepemimpinan
Dalam sesi pleno, negosiator utama Brasil, Maria Angélica Ikeda, menyatakan perjanjian harus “kokoh dan signifikan” dengan langkah seimbang terkait produksi dan konsumsi. Namun, pernyataan itu tidak menjawab apakah Brasil mendukung pembatasan produksi.
Delegasi Brasil juga mengaitkan hampir semua usulan dengan ketersediaan dana. Dalam catatan resmi yang dikirimkan ke Climate Home, Kementerian Luar Negeri Brasil menuduh negara maju enggan memberi dukungan finansial dan teknis kepada negara berkembang. Kritik ini sejalan dengan pola lama dalam diplomasi iklim, di mana bantuan menjadi batu sandungan utama.
Baca juga: Indonesia Tak Bisa Lagi Netral soal Mikroplastik
Namun, bagi banyak aktivis lingkungan, sikap itu terbaca sebagai strategi menunda keputusan. WWF-Brasil menyebut pendekatan sukarela yang diajukan Brasil kontradiktif dengan retorika kepemimpinan lingkungan yang sering diklaim.
Tantangan bagi Indonesia dan Kawasan
Bagi Indonesia dan negara berkembang lain, dinamika ini penting dicermati. Indonesia, dengan produksi dan konsumsi plastik yang terus meningkat, berada di posisi serupa. Di satu sisi menanggung beban polusi, di sisi lain masih mengandalkan industri berbasis bahan bakar fosil.
Baca juga: Tanpa Disadari, Kita Makan Plastik Setiap Hari
Keputusan Brasil akan memberi preseden, apakah negara berkembang memilih keberanian menuntut pembatasan produksi plastik di level global, atau mengikuti langkah kompromi yang rawan melemahkan hasil perjanjian.

Krisis yang Menunggu Jawaban
Polusi plastik bukan sekadar isu limbah. Ini terkait erat dengan krisis iklim, kesehatan publik, dan ketimpangan global dalam pembiayaan transisi. Dengan peran Brasil sebagai tuan rumah COP30, dunia menunggu sinyal kepemimpinan nyata.
Pertanyaannya kini, apakah Brasil siap berdiri di garis depan, atau justru membiarkan peluang emas ini hilang di bawah bayang-bayang industri fosil? ***
- Foto: Jonathan Borba/ Pexels.


