Sipora yang Terkoyak, Luka Panjang dari Pembalakan Meranti

DI TENGAH keindahan alam Mentawai yang eksotis, luka besar kini menganga di jantung hutan Pulau Sipora. Seluas 730 hektare kawasan hutan alami, rumah bagi satwa endemik seperti bilou, simakobu, dan bokkoi, rusak akibat praktik pembalakan liar kayu meranti.

Kasus ini terbongkar setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), gabungan Kementerian Kehutanan, Kejaksaan Agung, dan BPKP, melakukan operasi gabungan dan menemukan ribuan meter kubik kayu ilegal yang diselundupkan hingga ke Pelabuhan Gresik.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, dampaknya bukan sekadar ekonomi. “Ekosistem ini rusak. Flora dan fauna yang sudah berevolusi ribuan tahun kini terganggu,” ujarnya.

Jejak Waktu yang Tak Bisa Dikejar

Pulau Sipora merupakan bagian dari Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, yang secara geologis telah terpisah dari daratan utama sejak sekitar satu juta tahun lalu. Isolasi panjang ini membentuk ekosistem unik dengan tingkat endemisitas tinggi. Namun, keunikan itu kini terancam hilang.

Baca juga: Krisis Hutan Tropis Bisa Picu Pemanasan Global Abadi

Menurut kajian kehutanan, dibutuhkan waktu antara 60 hingga 100 tahun untuk menumbuhkan kembali pohon meranti seukuran yang kini ditebang. “Memulihkan hutan ini bukan hanya butuh uang, tapi juga waktu lintas generasi,” kata Anang.

Kerugian material akibat pembalakan liar tersebut mencapai Rp239 miliar, terdiri dari Rp198 miliar nilai kerusakan ekosistem dan Rp41 miliar nilai ekonomi kayu. Angka ini belum menghitung biaya pemulihan lingkungan dan kehilangan potensi jasa ekosistem yang tak ternilai.

Desain Grafik: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Modus Klasik, Dampak Sistemik

Dua tersangka kini dijerat hukum. Satu perorangan berinisial IM dan satu korporasi, PT Berkah Rimba Nusantara (BRN). Modusnya klasik, memalsukan dokumen legalitas kayu. PT BRN memegang izin hak atas tanah seluas 140 hektare, namun praktik penebangan dilakukan jauh di luar area izin, hingga menembus kawasan hutan produksi dan konservasi.

Baca juga: Menyelamatkan Paru-paru Dunia, Pelajaran dari Johan Eliasch untuk Kebijakan Hutan Indonesia

Hasil operasi Satgas menemukan 4.610 meter kubik kayu bulat meranti ilegal yang diangkut dengan tongkang Kencana Sanjaya & B dan tugboat Jenebora I. Kayu-kayu itu disamarkan seolah berasal dari lahan legal.

Kementerian Kehutanan dan Kejaksaan Agung kini menangani kasus ini bersama. Para tersangka dijerat dengan UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.

Kasus ini memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan terhadap rantai pasok kayu nasional. Di satu sisi, Indonesia tengah berupaya memperkuat kredibilitasnya di pasar karbon dan tata kelola hutan berkelanjutan; di sisi lain, praktik pembalakan ilegal masih menembus sistem verifikasi yang seharusnya ketat.

Baca juga: Saatnya Akhiri Warisan Kolonial di Hutan Indonesia

Pulau Sipora bukan sekadar lanskap hijau di peta Sumatera Barat. Pulau ini adalah laboratorium alam yang menyimpan jejak evolusi jutaan tahun dan cadangan karbon penting bagi keseimbangan iklim. Jika hutan-hutan seperti ini terus digunduli, kerugian ekologisnya akan jauh melampaui nilai ekonomi kayu yang dijarah. ***

  • Foto: Kejagung – Petugas Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengamankan tongkang pengangkut kayu meranti ilegal di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur. Kayu-kayu tersebut diduga hasil pembalakan liar dari Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai.
Bagikan