72 PLTU Dipensiunkan, Indonesia Bisa Hemat Anggaran Rp1.500 Triliun

INDONESIA menghadapi simpang jalan dalam strategi energi nasionalnya. Di satu sisi, batu bara masih jadi andalan pembangkit listrik. Di sisi lain, tuntutan krisis iklim mendesak negara ini untuk beralih secepat mungkin ke sumber energi bersih. Kajian terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan urgensi itu.

Dalam laporan bertajuk “Memensiunkan Batu Bara demi Masa Depan Iklim”, IESR menyebutkan bahwa Indonesia perlu memensiunkan sedikitnya 72 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan total kapasitas 43,4 GW dalam periode 2022 hingga 2045. Langkah ini bukan hanya soal komitmen Paris Agreement, tapi juga investasi masa depan demi bumi yang lebih layak huni.

Krisis Iklim, Agenda Energi, dan PLTU

Batas kenaikan suhu global 1,5°C jadi kompas utama. Untuk mencapainya, IESR menekankan bahwa Indonesia harus mulai mempensiunkan pembangkit batu bara secara sistematis, dengan tahap awal pada 2025–2030. Dalam periode ini, sebanyak 18 PLTU dengan total daya 9,2 GW direkomendasikan untuk dihentikan. Terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik swasta (4,2 GW).

Baca juga; Transisi Energi: Komitmen Menggebu, Aksi Masih Abu-abu

Penghentian ini bukan semata keputusan teknis. Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, pendekatan yang digunakan telah mempertimbangkan parameter seperti usia pembangkit, keekonomian proyek, tingkat emisi, dan kesiapan pendanaan transisi.

Biaya Tinggi di Awal, Hemat Besar di Akhir

Memensiunkan PLTU bukan tanpa ongkos. IESR memperkirakan biaya pensiun dini bisa mencapai US$4,6 miliar hingga 2030, dan melonjak ke US$27,5 miliar pada 2050. Dari angka tersebut, dua pertiga berasal dari pembangkit swasta dan sepertiga dari PLN.

Baca juga: Menutup PLTU, Menyelamatkan Ribuan Nyawa dan Triliunan Rupiah

Namun di balik investasi besar itu, tersimpan potensi penghematan luar biasa. Pengurangan subsidi, penurunan beban kesehatan masyarakat akibat polusi udara, dan efisiensi sistem bisa menghemat hingga US$96 miliar atau setara Rp 1.500 triliun pada 2050.

“Kalau dana pensiun dini untuk PLTU milik PLN bisa bersumber dari APBN, maka harus dipastikan juga bahwa dananya dipakai untuk mendorong pembangunan energi terbarukan,” ujar Fabby. Ia menambahkan, ini bukan semata soal memadamkan PLTU, tapi soal membangun masa depan energi yang lebih hijau.

Transisi yang Terencana, Bukan Sekadar Berhenti

IESR tak hanya bicara soal menghentikan. Mereka juga menekankan pentingnya fleksibilitas operasional PLTU yang tersisa untuk mendukung energi terbarukan. Dengan pengaturan sistem yang adaptif, PLTU bisa digunakan secara selektif hanya ketika pembangkit surya dan angin sedang tidak menghasilkan daya.

Langkah penghentian bertahap 72 PLTU batu bara dinilai krusial untuk menurunkan emisi karbon dan menghemat biaya kesehatan serta subsidi hingga Rp1.500 triliun. Foto: Ilustrasi/ Marcin Jozwiak/ Pexels.

Pendekatan ini membantu menjaga keandalan pasokan energi sekaligus membuka ruang lebih besar bagi energi bersih untuk mengambil alih pangsa pasar listrik nasional.

Tantangan Terbesar: Pendanaan dan Kepercayaan

Pertanyaannya kini: dari mana dana sebesar itu bisa didapat? Selain APBN dan penyertaan modal negara (PMN), IESR mendorong pemanfaatan skema internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), instrumen pembiayaan iklim global, hingga insentif untuk sektor swasta.

Baca juga: Efisiensi Energi Jadi Senjata Baru Dunia Usaha Hadapi Krisis Iklim

Tapi pendanaan hanyalah satu sisi. Lebih besar dari itu adalah komitmen politik, ketegasan kebijakan, dan kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan. PLTU bukan hanya mesin listrik. Ia telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi lokal di banyak daerah.

Energi Masa Depan Tak Datang Sendiri

PLTU boleh tua dan penuh jelaga, tapi meninggalkannya harus dengan hati-hati. Di saat bersamaan, Indonesia harus mempercepat pengembangan energi terbarukan, membangun jaringan listrik yang adaptif, dan menyiapkan SDM transisi.

Jika berhasil, Indonesia bukan hanya menghindari krisis iklim. Tapi juga membuktikan bahwa transformasi besar bisa terjadi – dengan visi, perencanaan, dan kerja bersama. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *