Di tengah ambisi global menuju transisi energi, perubahan iklim diam-diam mengubah arah angin—secara harfiah.
ENERGI angin telah lama jadi simbol masa depan bersih. Turbin-turbin raksasa menjulang di daratan dan laut, mengubah hembusan udara menjadi listrik. Namun kini, harapan itu menghadapi tantangan tak terduga: angin yang kian melemah di ketinggian turbin.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemanasan global berpotensi mengurangi kecepatan angin pada titik-titik krusial. Bukan sekadar gangguan sementara, tren ini mengancam fondasi keberlanjutan proyek-proyek energi angin di berbagai belahan dunia—terutama kawasan strategis seperti Timur Tengah.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Climatic Change oleh tim ilmuwan dari Institut Teknologi Karlsruhe dan Universitas Ibrani Yerusalem mengungkap, kecepatan angin di ketinggian sekitar 150 meter (490 kaki)—tinggi rata-rata turbin angin—bisa berkurang hingga 2,2 mil per jam pada musim panas. Konsekuensinya besar: dalam enam jam, kawasan terdampak bisa kehilangan lebih dari 6 juta Btu energi angin.
Baca juga: Energi Bersih Asia Tenggara, Kebijakan Global vs Realita Domestik
Melissa Latt, salah satu peneliti utama, menyebut perubahan pola cuaca dan suhu permukaan laut sebagai pemicunya. “Penting bagi kita untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap potensi angin, agar dapat merancang solusi energi yang tahan lama,” ujar Latt.
Dari Darat ke Laut, Menemukan Ulang Lokasi Ideal
Kawasan daratan yang sebelumnya menjanjikan kini berada di ujung tanduk. Di Timur Tengah, banyak proyek turbin darat terancam penurunan efisiensi. Sebaliknya, wilayah pesisir seperti sekitar Laut Merah masih menyimpan potensi. Ini menuntut strategi ulang: dari daratan ke laut, dari pendekatan tunggal ke sistem hibrida.

Energi angin lepas pantai menjadi opsi menjanjikan. Meski biaya pemasangan lebih tinggi, angin di laut lebih stabil dan konsisten. Teknologi kini memungkinkan pembangunan turbin terapung, membuka peluang di lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak terjangkau.
Baca juga: Pemanasan Global 2°C Tak Terbendung, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Hibrida, Angin dan Surya Saling Melengkapi
Solusi terbaik bukan mengganti satu sumber dengan yang lain, melainkan menyatukan kekuatan. Model energi terbarukan hybrid—menggabungkan tenaga angin dan surya—semakin relevan. Ketika angin melemah di siang hari, panel surya justru berada di puncak produksinya. Kombinasi ini bisa menjaga pasokan tetap stabil, khususnya di wilayah-wilayah panas dan cerah.
Baca juga: Gletser Dunia Meleleh, Ancaman Nyata untuk Iklim dan Masa Depan Air
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, pelajaran ini penting. Perencanaan energi ke depan tak bisa hanya berdasarkan data historis. Diperlukan pemetaan angin yang adaptif, berbasis proyeksi iklim jangka panjang. Selain itu, fleksibilitas dalam memilih lokasi dan jenis pembangkit menjadi kunci menghadapi era cuaca ekstrem dan iklim tak menentu.
Di tengah krisis iklim global, proyek energi terbarukan memang tak bisa berjalan dengan autopilot. Tapi dengan strategi yang tepat, perubahan arah angin bukan akhir dari segalanya. Justru bisa menjadi momen koreksi arah—menuju sistem energi yang lebih cerdas, tangguh, dan berkelanjutan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Jem Sanchez/ Pexels.