HIDROGEN hijau mulai dipandang sebagai energi masa depan untuk mempercepat transisi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Namun, perjalanan Indonesia untuk masuk ke ekosistem ini tidak mudah. Wakil Presiden Pengembangan Bisnis PT PLN (Persero), Ricky Cahya Andrian, menegaskan harga masih menjadi tembok besar yang menghalangi.
Saat ini, biaya produksi hidrogen hijau berada di kisaran 6–7 dolar per kilogram. Angka itu dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan hidrogen dari batu bara yang berada di level 3–4 dolar. “(Hidrogen hijau) enggak feasible. Gap harga ini jadi tantangan utama,” ujar Ricky dalam sebuah webinar, akhir pekan lalu.
Belajar dari Jepang
Menurut Ricky, Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Jepang yang sudah lebih dulu merancang skema insentif. Negeri Sakura menggelar lelang pengadaan hidrogen hijau dengan kontrak 15 tahun. Pemenang lelang ditentukan berdasarkan selisih harga terendah (price gap) dan diwajibkan membangun pabrik elektroliser di Jepang.
Baca juga: Kereta Hidrogen, Babak Baru Transportasi Berkelanjutan di India
Kenapa 15 tahun? Ricky menceritakan jawaban pihak Jepang, diharapkan pada tahun ke-16, harga hidrogen sudah ekonomis karena teknologi makin canggih dan energi terbarukan makin murah. Model semacam ini, kata dia, bisa diadaptasi Indonesia untuk mempercepat pengembangan hidrogen hijau.
“Insentif adalah kunci. Tanpa subsidi atau dukungan kebijakan, sulit menggerakkan pasar,” jelasnya.
Target Ambisius, Kebutuhan Masif
Pemerintah menargetkan produksi hidrogen hijau sebesar 20 juta ton pada 2060. Untuk mencapainya, Indonesia memerlukan kapasitas elektroliser hingga 138 gigawatt. Angka ini menandakan investasi besar-besaran dibutuhkan, bukan hanya dalam teknologi, tetapi juga dalam infrastruktur energi terbarukan yang menjadi sumber daya utama.

Hidrogen hijau diproduksi melalui proses elektrolisis air menggunakan listrik dari energi terbarukan seperti surya, angin, atau hidro. Teknologi ini relatif baru dan masih mahal. Belum ada satu pun negara yang bisa menjual hidrogen hijau di bawah harga yang diterima pasar. Karena itu, insentif fiskal dan dukungan regulasi menjadi krusial.
Tantangan Kebijakan dan Ekonomi
Masalah harga bukan hanya soal teknologi, tetapi juga struktur pasar energi. Subsidi energi fosil yang masih kuat membuat hidrogen hijau kehilangan daya saing. Sementara itu, investor akan berhitung matang sebelum masuk ke sektor dengan risiko tinggi dan kepastian pasar yang rendah.
Jika Indonesia ingin serius, pemerintah perlu menyiapkan bauran kebijakan. Insentif fiskal, jaminan harga, hingga dukungan infrastruktur harus dirancang terintegrasi. Belajar dari Jepang, kontrak jangka panjang bisa memberikan kepastian bagi investor.
Baca juga: Ambisi Hijau Jepang, Emisi Turun 73% di 2040
Di sisi lain, perlu dipikirkan keterkaitan hidrogen hijau dengan sektor industri. Misalnya, integrasi dengan industri baja, petrokimia, dan transportasi berat. Sektor-sektor ini sulit melakukan dekarbonisasi hanya dengan elektrifikasi dan sangat potensial menjadi konsumen utama hidrogen hijau.
Jalan Panjang Menuju NZE
Indonesia punya modal besar: sumber energi terbarukan yang melimpah. Namun, tanpa keberanian mengambil langkah kebijakan, hidrogen hijau akan tetap jadi jargon. PLN sendiri mengakui perlu dukungan pemerintah untuk menjembatani gap harga yang ada.
Baca juga: Terobosan Dunia, Kereta Serat Karbon Pertama dari China
Hidrogen hijau bisa menjadi game changer. Tetapi tanpa desain kebijakan cerdas, target 20 juta ton pada 2060 bisa hanya jadi angka di atas kertas. ***
- Foto: Dok. PLN – Tangki penyimpanan hidrogen hijau di Unit Pembangkitan Muara Tawar, bagian dari upaya PLN mengembangkan ekosistem energi bersih.


