INDONESIA belum menyerahkan Second Nationally Determined Contribution (NDC) ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Padahal, dokumen ini menjadi kunci komitmen nasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai target iklim global menjelang COP30 di Brasil, November 2025.
Waktu semakin sempit. UNFCCC menetapkan akhir September sebagai batas pengiriman. Namun hingga pertengahan Oktober, Indonesia belum juga mengirimkan. Keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan, seberapa serius Indonesia menjaga kredibilitasnya dalam diplomasi iklim global?
Optimisme Pemerintah, Kekhawatiran Publik
Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya, memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Indonesia, kata dia, bukan satu-satunya negara yang belum menyetorkan NDC. Dari 198 negara, baru sepertiganya yang sudah menyerahkan.
“Masih banyak negara lain yang juga belum submit. Jadi tidak perlu khawatir, kita masih berjalan bersama,” ujarnya dalam sebuah webinar, Selasa (14/10/2025).
Baca juga: Second NDC Indonesia, Langkah Baru atau Sekadar Janji?
Tri menegaskan, penyusunan Second NDC berjalan transparan dan inklusif. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai focal point telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga non-pemerintah. “Saya saksi hidup, dua tahun terakhir proses ini terbuka dan melibatkan banyak pihak,” katanya.
Namun, narasi optimisme itu belum cukup meredam kritik dari masyarakat sipil. Program and Policy Manager Yayasan CERAH, Wicaksono Gitawan, menilai keterlambatan ini bisa berdampak pada kredibilitas Indonesia di mata dunia. “NDC bukan sekadar dokumen administratif, tetapi wujud keseriusan pemerintah dalam menurunkan emisi dan mempercepat transisi energi,” ujarnya.

Ambisi Baru, Tantangan Lama
Tri Purnajaya mengisyaratkan bahwa Second NDC Indonesia akan lebih ambisius dari komitmen sebelumnya. Namun, ambisi itu harus diimbangi dengan strategi implementasi yang realistis. Pada First NDC, Indonesia berjanji menurunkan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Baca juga: Ekonomi Karbon Multiskema, Jalan Tengah Menuju Pembiayaan Iklim Rp4.500 Triliun
Tantangannya kini lebih kompleks. Emisi dari sektor energi masih meningkat, penggunaan batubara belum melandai, dan peta jalan transisi energi belum sepenuhnya sinkron dengan kebijakan industri serta pembiayaan hijau.
Keterlambatan pengiriman NDC bisa jadi bukan sekadar soal administrasi, tapi cerminan betapa sulitnya menyatukan visi lintas sektor dalam arsitektur kebijakan iklim nasional.
Dinamika Diplomasi Iklim
Dalam konteks geopolitik, NDC juga menjadi instrumen reputasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia berusaha menunjukkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tanggung jawab iklim. Namun, ketepatan waktu dan kejelasan target akan menentukan seberapa besar kepercayaan dunia terhadap komitmen tersebut.
Baca juga: 80 Ribu Desa Jadi Target PLTS, Akhir dari Ketergantungan Energi Fosil?
COP30 di Brasil nanti akan menjadi panggung penting. Indonesia diharapkan datang tidak hanya membawa Second NDC yang ambisius di atas kertas, tetapi juga rencana aksi yang konkret dan dapat diukur.
Karena pada akhirnya, iklim tidak menunggu siapa pun. Setiap bulan yang hilang tanpa arah kebijakan yang jelas berarti emisi terus naik dan peluang menuju net-zero makin menipis. ***
- Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels – Lahan pembangkit listrik tenaga surya di perbukitan. Transisi energi menjadi komponen utama dalam penyusunan Second NDC Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi dan net-zero 2060.


