INDONESIA memasuki babak baru dalam menghadapi krisis iklim. Setelah dua dekade kebijakan tersebar di banyak kementerian, kini muncul gagasan membentuk lembaga khusus yang fokus mengoordinasikan seluruh upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menilai, arah kebijakan iklim nasional sudah terlalu kompleks untuk ditangani secara sektoral. “Kami mengusulkan ada kelembagaan khusus yang menjadi koordinator dan integrator dari berbagai kebijakan yang ada, agar semuanya berjalan secara terkoordinir,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan (13/10/2025).
Menurut Eddy, lembaga itu bisa berbentuk kementerian, badan, atau otorita nasional yang berada langsung di bawah Presiden. Tujuannya sederhana tapi strategis, memastikan arah kebijakan iklim Indonesia konsisten, lintas-sektor, dan punya mandat kuat untuk menegakkan komitmen dekarbonisasi.
Kelembagaan Iklim yang Hilang
Selama ini, kebijakan perubahan iklim berada di bawah banyak pintu. Kementerian Lingkungan Hidup (sebelumnya KLHK) mengurusi mitigasi dan MRV (Measurement, Reporting, Verification), Kementerian ESDM mengatur transisi energi, Bappenas memimpin perencanaan, sementara Kementerian Keuangan mengelola skema pendanaan iklim dan pajak karbon.
Baca juga: Dua Wajah Indonesia dalam Krisis Iklim, Korban Sekaligus Penyumbang Emisi
Fragmentasi ini membuat kebijakan berjalan sendiri-sendiri. Misalnya, program energi terbarukan sering kali tak selaras dengan target penurunan emisi dari sektor industri atau kehutanan. Dalam konteks global, Indonesia juga kesulitan berbicara dengan satu suara dalam forum iklim internasional.
“Sudah saatnya Indonesia memiliki otoritas iklim nasional yang kuat, seperti Climate Change Commission di Inggris atau National Council on Climate Change di Filipina,” kata Eddy. “Lembaga ini akan mengintegrasikan kebijakan lintas kementerian, serta menjadi jembatan antara pemerintah pusat, daerah, dan dunia usaha,” tambahnya.
Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?

RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, Momentum Baru
Gagasan pembentukan lembaga tersebut beriringan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim yang masuk Prolegnas Prioritas 2026. RUU ini diharapkan menjadi payung hukum untuk memperkuat tata kelola iklim nasional, mulai dari pendanaan, tanggung jawab sektor, hingga peran masyarakat.
Eddy menegaskan, urgensinya sudah bergeser. Bukan lagi “perubahan” iklim, tapi krisis iklim. Karena itu, pembahasannya tidak boleh berlarut. “Saya berharap semakin cepat, semakin baik. Mudah-mudahan di awal 2026 sudah bisa masuk tahap pembahasan di Komisi XII,” ujarnya.
Baca juga: Perubahan Iklim Makin Parah, Siklus Banjir di Indonesia Kian Cepat
Fraksi PAN, kata dia, siap mendorong percepatan agar RUU ini bisa disahkan tanpa menunggu beberapa masa sidang. Jika terealisasi, Indonesia akan menjadi salah satu negara di kawasan ASEAN yang memiliki undang-undang khusus tentang pengelolaan perubahan iklim.
Langkah Politik untuk Krisis Ekologis
Secara politik, usulan ini menandai perubahan paradigma. Isu iklim bukan lagi domain teknokrat, tapi kebijakan strategis nasional. Di tengah meningkatnya risiko bencana dan tekanan global terhadap komitmen emisi, Indonesia perlu menata ulang kelembagaan agar respons terhadap krisis iklim tidak parsial.
Baca juga: Ekonomi Karbon Multiskema, Jalan Tengah Menuju Pembiayaan Iklim Rp4.500 Triliun
Pembentukan lembaga khusus bukan sekadar soal birokrasi baru, melainkan tentang efektivitas tata kelola krisis. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, koordinasi yang lemah justru berpotensi menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar.
Jika wacana ini disertai visi transisi hijau yang terintegrasi, antara energi, kehutanan, transportasi, dan keuangan, Indonesia akan lebih siap menghadapi tekanan global sekaligus memanfaatkan peluang ekonomi hijau. ***
- Foto: Dok. MPR RI – Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Dari gedung inilah wacana pembentukan lembaga khusus perubahan iklim bergulir, seiring dorongan agar kebijakan lintas sektor lebih terkoordinasi.


