Dari model pembiayaan bertahap hingga sinkronisasi BUMN energi, panas bumi akhirnya punya jalan realistis menuju masa depan hijau.
SELAMA puluhan tahun, panas bumi disebut sebagai raksasa tidur energi Indonesia. Potensinya mencapai 25.000 megawatt (MW), tapi yang benar-benar mengalir ke jaringan listrik baru sekitar 2.400 MW. Padahal, sumber energinya bersih, stabil, dan murni berasal dari perut bumi Nusantara.
Kini, raksasa itu mulai menggeliat. Pertamina Geothermal Energy (PGE) memperkenalkan pendekatan baru yang lebih realistis dan efisien, model pembiayaan bertahap atau staging. Pendekatan ini memecah proyek besar menjadi unit kecil, misalnya 15 hingga 30 MW, agar bisa dimulai lebih cepat, tanpa menunggu pendanaan jumbo yang sering menjadi batu sandungan utama proyek energi hijau.
Dari Aceh ke Sulawesi, Cara Baru Memulai
Proyek di Seulawah, Aceh, menjadi tonggak awal. Setelah tertunda hampir empat dekade, pengeboran tahap pertama 30 MW dijadwalkan dimulai akhir tahun ini. Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, proyek serupa akan berjalan dengan skema yang sama, dimulai dari 15 MW, lalu dikembangkan bertahap hingga mencapai kapasitas penuh.
Baca juga: Raksasa Tertidur Panas Bumi, Bisakah Indonesia Bangun di 2030?
Dengan metode ini, arus kas perusahaan lebih terjaga, risiko investasi lebih rendah, dan proyek bisa menghasilkan pendapatan lebih cepat. Inovasi yang sederhana, tapi potensial mempercepat pencapaian target ambisius PGE, 3.000 MW dalam dua tahun ke depan.
Tantangan “Kerukunan Keluarga Energi”
Namun, hambatan terbesar panas bumi bukan semata teknologi atau pendanaan. Melainkan, tata kelola antar-BUMN energi yang tumpang tindih.

Selama ini, Pertamina bertindak sebagai pengembang dan penjual listrik panas bumi, sementara PLN menjadi pembelinya. Dua raksasa energi nasional ini kerap terjebak dalam negosiasi harga jual-beli yang berlarut-larut, kadang bertahun-tahun, hingga banyak proyek macet di tengah jalan.
Di era baru pemerintahan, ada peluang untuk menyatukan arah. Dengan berdirinya Danantara, lembaga investasi negara yang memayungi BUMN strategis, sinkronisasi antara produsen dan pembeli energi bisa lebih mudah diarahkan. Jika dijalankan konsisten, kebuntuan proyek panas bumi yang selama ini “terperangkap selimut birokrasi” bisa segera terbuka.
Momentum Transisi Hijau Nasional
Panas bumi bukan sekadar proyek energi. “Harta karun” ini simbol dari kemandirian energi hijau yang menjadi prioritas pemerintahan baru.
Baca juga: Panas Bumi Dunia di Ambang Rekor Baru, Indonesia Jadi Kunci
Tak seperti energi surya atau angin yang bergantung pada cuaca, geothermal menghasilkan listrik stabil 24 jam tanpa impor bahan bakar. Jika kapasitas terpasang mencapai 3.000 MW, Indonesia berpeluang menyalip Filipina dan mendekati Amerika Serikat, pemimpin global geothermal dengan 3.400 MW.
Selain memperkuat ketahanan energi, perluasan proyek panas bumi juga memberi kontribusi signifikan terhadap target dekarbonisasi nasional dan emisi netral 2060.

Jika strategi pembiayaan bertahap berjalan konsisten, Indonesia bisa benar-benar membangunkan raksasa tidur yang selama ini hanya menjadi jargon energi hijau di atas kertas.
Baca juga: Potensi Panas Bumi RI Besar, tapi Mengapa Investasinya Tersendat?
Kali ini, panas bumi bukan sekadar wacana, tapi bisa menjadi tulang punggung energi bersih nasional yang berkelanjutan, inklusif, dan realistis secara ekonomi. ***
- Foto: Ilustrasi/ Denitsa Kireva/ Pexels – Semburan uap panas bumi di kawasan pegunungan, simbol energi hijau yang mulai bangkit di berbagai wilayah Indonesia.


