RISET terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Celios, dan Trend Asia menyoroti kenyataan pahit di balik ketergantungan Indonesia pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Di balik asap dan deru turbin, tersembunyi angka yang mencengangkan. Sebanyak 156.000 kematian dini dan kerugian ekonomi mencapai Rp1.813 kuadriliun.
Angka ini merefleksikan beban kesehatan masyarakat, penurunan produktivitas, hingga biaya sosial yang terus membengkak akibat pencemaran udara dari PLTU di berbagai wilayah.
Dampak Nyata di Udara dan Kehidupan
Menurut Analis CREA, Katherine Hasan, polusi lintas batas dari PLTU di sekitar Jabodetabek menjadi salah satu pemicu meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada 2025.
“Cemaran polutan dari PLTU batu bara telah berkontribusi terhadap krisis kesehatan, termasuk kelahiran prematur, berat badan rendah pada bayi, hingga meningkatnya risiko stroke dan asma anak,” ujarnya di Jakarta (4/10/2025).
Baca juga: 72 PLTU Dipensiunkan, Indonesia Bisa Hemat Anggaran Rp1.500 Triliun
Riset ini memperlihatkan bahwa setiap ton batu bara yang dibakar memiliki konsekuensi jangka panjang. Selain merenggut nyawa, ia juga memperlemah fondasi ekonomi nasional melalui berkurangnya jam kerja produktif, meningkatnya biaya kesehatan, dan turunnya kualitas hidup masyarakat.
Kebijakan yang Masih Setengah Hati
Pemerintah sebenarnya telah memiliki Peraturan Menteri (Permen) No.10 Tahun 2025 yang mencakup peta jalan energi dan opsi pensiun dini PLTU. Namun, riset tersebut menilai regulasi ini belum cukup kuat. “Permen itu bersifat opsional dan bergantung pada pendanaan internasional. Belum ada mandat tegas yang memastikan keselamatan iklim dan kesehatan masyarakat,” kata Katherine.

Jika 20 PLTU paling berbahaya terus beroperasi, potensi kerugian ekonomi nasional mencapai Rp52,4 triliun per tahun, dengan penurunan agregat pendapatan masyarakat sebesar Rp48,4 triliun. Dampaknya bukan hanya pada angka makroekonomi, tapi juga pada daya tahan ekonomi lokal yang bergantung pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang tercemar.
Ironi Janji Lapangan Kerja
Peneliti Celios Atina Rizqiana menilai, keberlanjutan operasi PLTU justru kontraproduktif terhadap janji pemerintah menciptakan 19 juta lapangan kerja baru.
“Sebaliknya, sekitar 1,45 juta tenaga kerja bisa hilang akibat rusaknya lahan produktif dan degradasi lingkungan,” ungkap Atina.
Baca juga: Pensiun Dini PLTU, Realita Sulit di Tengah Desakan Global
Ia menegaskan bahwa pemensiunan dini PLTU bukan ancaman ekonomi, melainkan solusi rasional untuk menghindari kerugian lebih besar. Dengan mengalihkan investasi ke energi bersih, pemerintah justru dapat menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan di sektor energi terbarukan.
Transisi Energi, Bukan Sekadar Janji
Dari sisi advokasi masyarakat sipil, Novita Indri Pratiwi, juru kampanye energi dari Trend Asia, menegaskan bahwa penghentian operasi PLTU adalah langkah konkret menyelamatkan keuangan negara dan kesehatan publik. “Dampak kematian dini dan kerugian ekonomi ini bukan hanya deretan angka. Ini tentang warga yang kehilangan napas dan masa depan,” ujarnya.
Baca juga: Finlandia Tutup PLTU Terakhir, Awal Baru Energi Bersih Eropa
Ia mendesak negara-negara pemberi modal dan pemerintah berhenti menunda transisi energi dengan “solusi palsu” seperti perpanjangan masa operasi PLTU atau teknologi penangkap karbon yang tidak efektif. Yang dibutuhkan, kata Novita, adalah transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan, di mana rakyat menjadi pusat kebijakan, bukan korban dari sistem yang kotor. ***
- Foto: Ilustrasi/ Bkusmono/ Wikipedia – PLTU batu bara di Indramayu, Jawa Barat, tampak diselimuti kabut polusi. Pembangkit ini menggunakan sistem reaktor air didih uap untuk menghasilkan listrik.


