Indonesia Gandeng Verra untuk Perluas Perdagangan Karbon Internasional

INDONESIA kembali melangkah maju dalam diplomasi iklim. Pemerintah menandatangani mutual recognition agreement (MRA) dengan Verra, lembaga nirlaba internasional yang mengelola Verified Carbon Standard (VCS), salah satu standar paling populer di pasar karbon sukarela dunia.

Kesepakatan ini ditandatangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan Verra. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyebutnya sebagai tonggak penting dalam perjalanan panjang implementasi perdagangan karbon di Indonesia sejak peluncuran pasar karbon domestik oleh Presiden Joko Widodo pada 26 September 2024.

“MRA ini memperkuat langkah Indonesia dalam transformasi ekonomi rendah karbon. Ini bukan hanya pengakuan, tetapi juga peluang untuk mengonversi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif di pasar global,” kata Hanif.

Pilar Kerja Sama Baru

VCS yang dikelola Verra telah lama menjadi rujukan bagi proyek penyerapan dan pengurangan emisi berbasis alam. Setiap Verified Carbon Unit (VCU) yang dihasilkan mewakili penurunan atau penyerapan satu ton CO₂e.

Indonesia kini mengintegrasikan skema VCS ini dengan perdagangan karbon nasional. Hanif menjelaskan, MRA dengan Verra melengkapi empat kesepakatan lain yang sebelumnya ditandatangani Indonesia dengan Gold Standard, Global Carbon Council (GCC), Plan Vivo, dan Puro Earth.

Baca juga: Standar Baru Pasar Karbon Global, Peluang bagi Proyek CDR Indonesia

Dengan lima MRA yang telah diakui, Indonesia memperluas cakupan mitigasi perubahan iklim melalui 58 metodologi berbasis alam, mulai dari restorasi hutan dan mangrove hingga pertanian regeneratif, dan 54 metodologi berbasis teknologi, termasuk energi terbarukan.

Memaksimalkan Potensi Alam dan Energi

Indonesia memiliki aset alam yang luar biasa untuk memperkuat posisi di pasar karbon global:

  • Hutan seluas 120 juta hektare
  • Mangrove 3,44 juta hektare
  • Lahan gambut tropis 13,4 juta hektare

Selain itu, potensi kredit karbon dari sektor energi mencakup sumber daya gelombang laut, panas bumi, bioenergi, angin, hidro, hingga surya, dengan kapasitas total hingga 3.687 gigawatt. Menurut Hanif, pemanfaatan potensi ini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 27,5 gigaton CO₂e per tahun.

Energi terbarukan seperti surya dan angin menjadi sumber penting kredit karbon Indonesia di pasar global. Foto: Kindel Media/ Pexels.

“Keunggulan komparatif ini harus kita kelola agar menjadi nilai tambah bagi pengembang proyek dan memberi kontribusi nyata pada target penurunan emisi nasional,” ujar Hanif.

Harapan Baru di Balik Pengakuan Global

Sejak diluncurkan pada Januari 2025, perdagangan karbon internasional melalui IDX Carbon masih belum menunjukkan dampak signifikan. Salah satu hambatannya adalah terbatasnya pengakuan kredit karbon domestik oleh pasar global.

Baca juga: Indonesia, Pemain Kunci di Pasar Karbon Dunia

Pendekatan multi-skema melalui MRA diharapkan menjadi jawaban. Dengan adanya kesepakatan ini, para pengembang proyek berbasis alam maupun teknologi di Indonesia dapat mengakses pasar yang lebih luas dengan kredibilitas yang diakui secara internasional.

“Pengakuan global membuka peluang lebih besar bagi proyek-proyek di Indonesia untuk ikut dalam skema pasar karbon internasional yang kian kompetitif,” kata Hanif.

Sinergi dan Pembiayaan Iklim

Sejak awal, Indonesia telah menginisiasi skema carbon pricing melalui program RED+ yang berhasil memperoleh pembayaran berbasis hasil, antara lain US$103,8 juta dari JCC, US$180 juta dari FCV, dan US$216 juta dari Pemerintah Norwegia.

Menurut Hanif, keberhasilan ini menjadi bukti bahwa dunia mengakui kontribusi Indonesia, terutama dari sektor kehutanan, dalam mitigasi perubahan iklim. Ia menekankan perlunya keberlanjutan dukungan dan investasi untuk memaksimalkan peluang dari perdagangan karbon lintas batas.

Baca juga: Pasar Karbon Indonesia Butuh Rp4.000 Triliun, SRN PPI Jadi Kunci

Penandatanganan MRA dengan Verra memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika pasar karbon global. Ini adalah langkah strategis untuk menghubungkan potensi domestik yang besar dengan permintaan pasar internasional yang terus tumbuh.

Namun, tantangan tetap ada, mulai dari penguatan regulasi dan kapasitas lembaga, hingga memastikan transparansi dan integritas proyek-proyek karbon. Keberhasilan MRA ini akan bergantung pada kemampuan Indonesia memadukan instrumen kebijakan, pengawasan pasar, dan inovasi pembiayaan untuk memastikan manfaat ekonomi dan lingkungan diraih secara berimbang. ***

  • Foto: Kennst/ Pexels Hamparan hutan tropis menjadi tulang punggung potensi Indonesia dalam perdagangan karbon berbasis alam.
Bagikan