2050 Energi Bersih, Saatnya Indonesia Punya Strategi Transisi yang Terpadu

INDONESIA memiliki peluang besar untuk mempercepat transisi menuju bauran energi terbarukan penuh pada 2050, melampaui target 31 persen dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, peluang ini hanya bisa diwujudkan dengan perencanaan yang matang, strategi lintas-sektor, dan kepemimpinan yang konsisten di tingkat nasional.

Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menegaskan perlunya langkah terukur, dari jangka pendek hingga jangka panjang, agar transformasi energi tidak berhenti di wacana.

Langkah Cepat, 100 GW Surya dan Jaringan Bersama

Dalam dua tahun ke depan, tiga strategi dinilai krusial untuk menyalakan percepatan.
Pertama, pemerintah perlu mengintegrasikan program 100 gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan baterai tersebar ke dalam rencana pembangunan ekonomi desa berbasis energi bersih. Program ini diharapkan tidak hanya meningkatkan bauran energi, tapi juga membuka peluang industri lokal dan tenaga kerja baru.

Kedua, penambahan kuota PLTS atap menjadi kunci partisipasi publik. Industri, komunitas, dan rumah tangga dapat ikut langsung dalam transisi energi, tanpa bergantung sepenuhnya pada pembangkit besar milik negara.

Ketiga, penerapan konsep Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) akan memperluas akses energi terbarukan bagi industri.

Baca juga: Asia-Pasifik Tertinggal dalam SDGs karena Lambatnya Transisi Energi Bersih

Menurut CEO IESR, Fabby Tumiwa, skema ini menciptakan kondisi win-win. “PLN dapat menambah pendapatan dan utilisasi jaringan, masyarakat memperoleh pasokan listrik yang lebih andal, dan industri menjaga daya saingnya dengan menurunkan jejak karbon,” ujarnya.

Jika dijalankan dengan tata kelola kuat, program 100 GW PLTS bisa menjadikan Indonesia model transisi energi negara berkembang, mendorong tumbuhnya rantai pasok surya dan baterai domestik.


Strategi Transisi Energi Menuju 2050

Target Akhir: 100% bauran energi terbarukan pada 2050

Jangka Pendek (1–2 tahun)

  • Integrasi program 100 GW PLTS dan baterai dalam pembangunan desa
  • Tambah kuota PLTS atap untuk industri dan masyarakat
  • Terapkan konsep PBJT untuk akses energi industri

Jangka Menengah (3–4 tahun)

  • Perkuat edukasi dan partisipasi publik
  • Siapkan regulasi proyek energi yang bankable
  • Sinkronisasi instrumen keuangan dan pasar karbon
  • Kembangkan ekosistem hidrogen hijau
  • Masukkan keterampilan green jobs ke sistem pendidikan

Jangka Panjang (hingga 2050)

  • Kepemimpinan nasional yang konsisten
  • Landasan hukum kuat: percepatan UU EBT dan UU Ketenagalistrikan
  • Integrasi kebijakan energi, pembangunan, dan iklim

Sumber: IESR & ICEF (2025)

Teknisi memeriksa panel surya di fasilitas PLTS. Program 100 GW PLTS disebut menjadi fondasi percepatan bauran energi terbarukan di Indonesia. Foto: Trinh Trần/ Pexels.

Tahap Menengah: Fondasi Kelembagaan dan Ekosistem Hijau

Dalam tiga hingga empat tahun ke depan, IESR dan ICEF menilai Indonesia harus memperkuat “kondisi pendukung” agar transisi energi berjalan efektif.
Langkah pertama adalah memperluas edukasi publik dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap agenda transisi energi. Tanpa dukungan sosial, target 2050 akan sulit dicapai.

Langkah berikutnya: menyiapkan regulasi proyek energi terbarukan yang bankable. Proyek perlu dirancang agar risikonya rendah dan biaya pendanaannya menurun. Selaras dengan itu, instrumen keuangan dan pasar karbon nasional harus memiliki arah dan peta jalan yang jelas.

Baca juga: Energi Bersih Asia Tenggara, Kebijakan Global vs Realita Domestik

Untuk mendukung integrasi energi bersih, penguatan sistem kelistrikan dan kapasitas SDM sektor energi menjadi prioritas. Selain itu, pengembangan ekosistem hidrogen hijau diusulkan sebagai strategi diversifikasi jangka menengah, dengan insentif untuk mendorong permintaan dari sektor prioritas.

ICEF juga menyoroti pentingnya mengarusutamakan green jobs dalam sistem pendidikan nasional.
“Bappenas, Kemenaker, dan Kemdikbudristek perlu menyelaraskan kebutuhan keterampilan baru di sektor energi terbarukan,” kata anggota ICEF Sripeni Inten Cahyani.

Langkah Panjang: Kepastian Hukum dan Kepemimpinan Energi

Transisi energi memerlukan kepemimpinan politik dan kebijakan hukum yang konsisten lintas periode pemerintahan. Dalam pandangan IESR dan ICEF, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu memperkuat fondasi hukum transisi energi melalui percepatan UU Energi Baru dan Terbarukan serta revisi UU Ketenagalistrikan.

Baca juga: Target Bauran Energi Terbarukan Indonesia Menjadi 72% pada 2060

Kepastian hukum menjadi syarat mutlak agar investasi energi hijau meningkat dan “quick wins” dari program 100 GW PLTS dapat berlanjut. “Penyelarasan kebijakan energi, pembangunan, dan iklim akan menjadi penentu posisi Indonesia dalam peta transisi global,” ujar Sripeni.

Dengan arah kebijakan yang jelas, Indonesia bukan hanya mengejar target 100 persen energi terbarukan 2050, tapi juga membangun sistem ekonomi baru yang lebih tangguh, adil, dan rendah karbon. ***

  • Foto: Dok, SustainReview Pembangkit listrik tenaga surya dan turbin angin menggambarkan peta jalan energi bersih Indonesia menuju 2050.
Bagikan