KETIKA suhu udara di Asia Tenggara terus melonjak, pendingin ruangan, perangkat yang dulu dianggap barang mewah, kini berubah menjadi kebutuhan dasar. Namun di balik kesejukan yang ditawarkan, tersimpan ancaman baru bagi sistem energi kawasan, yakni lonjakan permintaan listrik yang bisa mengguncang ketahanan energi regional.
Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA), Fatih Birol, mengingatkan bahwa konsumsi listrik untuk kebutuhan pendingin ruangan (AC) akan menjadi pemicu utama kenaikan permintaan energi di Asia Tenggara. Dalam sepuluh tahun ke depan, kawasan ini diperkirakan membutuhkan tambahan pasokan hingga 300 gigawatt (GW) listrik, setara dengan gabungan kapasitas listrik Jepang dan Korea Selatan saat ini.
“AC adalah pendorong utama kenaikan permintaan listrik di Asia Tenggara,” kata Birol saat Singapore International Energy Week (SIEW) 2025.
Kesejukan yang Mahal
Di Jepang dan Amerika Serikat, 9 dari 10 rumah tangga telah menggunakan AC. Di Asia Tenggara, angkanya baru sekitar 20%. Artinya, ketika pendapatan per kapita meningkat dan suhu ekstrem makin sering terjadi, jutaan rumah tangga baru akan segera membeli pendingin ruangan.
Baca juga: Asia-Pasifik Tertinggal dalam SDGs karena Lambatnya Transisi Energi Bersih
Kondisi ini menciptakan paradoks. Semakin banyak AC digunakan untuk menghindari panas, semakin besar pula emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkitan listrik berbasis fosil yang masih dominan di kawasan. Di Indonesia, misalnya, sekitar 60% listrik masih bergantung pada batu bara, sementara penetrasi energi terbarukan baru mencapai dua digit kecil.
Kebutuhan pendingin ruangan juga memperbesar beban puncak (peak load) di siang hari, menuntut sistem kelistrikan yang lebih fleksibel dan jaringan transmisi yang tangguh. Tanpa strategi efisiensi dan diversifikasi energi yang cepat, risiko blackout dan pemborosan energi bisa meningkat tajam.

Ketika AI Menambah Panas
Bukan hanya rumah tangga yang menjadi faktor lonjakan listrik. Revolusi digital dan adopsi kecerdasan buatan (AI) menambah kompleksitasnya. Birol menegaskan, “AI butuh data center, dan data center butuh listrik. Tidak akan ada AI tanpa listrik.”
Baca juga: Jejak Karbon AI, Tantangan Baru dalam Keberlanjutan Teknologi
Menurut laporan IEA, konsumsi listrik global untuk data center dan AI bisa naik tiga kali lipat pada 2030. Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di dunia, akan menjadi salah satu episentrumnya. Negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia kini berlomba menyediakan infrastruktur data center yang masif, sebuah peluang ekonomi sekaligus tantangan iklim.
Energi Masa Depan, Pilihan Tak Mudah
Untuk menjawab lonjakan permintaan ini, setiap negara memiliki strategi berbeda. Vietnam dan Filipina memperluas energi surya dan angin, Indonesia masih menyeimbangkan antara gas dan batu bara, sementara Thailand mulai menjajaki opsi nuklir kecil (small modular reactors).
Baca juga: 2050 Energi Bersih, Saatnya Indonesia Punya Strategi Transisi yang Terpadu
Namun, Birol mengingatkan bahwa transisi energi bukan sekadar soal memilih sumber daya, melainkan membangun kebijakan yang berpihak pada efisiensi. “Kita perlu memastikan setiap kilowatt listrik digunakan secara bijak,” ujarnya.
Di tengah ancaman panas yang kian ekstrem dan tekanan emisi karbon, pilihan Asia Tenggara hari ini akan menentukan apakah kesejukan masa depan akan datang dari udara alami atau dari mesin yang haus energi. ***
- Foto: Ethan Tran/ Pexels – Pemandangan malam kawasan bisnis di Singapura, salah satu pusat aktivitas digital dan energi terbesar di Asia Tenggara. Permintaan listrik kawasan ini melonjak seiring meningkatnya penggunaan AC dan pusat data.


