Dari UEA ke Nusantara, Bisakah Model BlueSun Mempercepat Transisi Energi Indonesia?

BLUESUN International, konsorsium cleantech berbasis Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat, baru saja mencetak rekor biaya listrik terbarukan, yakni 1,9 sen per kWh untuk pembangkitan dan 1,4 sen per kWh untuk penyimpanan baterai. Angka ini bukan hanya mematahkan argumen lama bahwa energi hijau mahal, tapi juga menantang dominasi energi fosil.

Jika klaim ini terverifikasi, dunia masuk ke fase baru transisi energi. Listrik bersih yang bukan hanya berkelanjutan, tapi juga kompetitif.

Pelajaran bagi Indonesia

Bagi Indonesia, kabar ini seharusnya jadi alarm sekaligus peluang. Target net zero 2060 membutuhkan investasi besar di energi bersih. Namun hingga kini, transisi kerap terbentur dua hal, biaya tinggi dan masalah intermitensi (pasokan tidak stabil).

Baca juga: Potensi Energi Surya Melimpah, Timur Indonesia Bisa Mandiri Listrik

Model BlueSun bisa jadi jawaban. Skema pembiayaan jangka panjang memungkinkan desa atau kota di Indonesia mengadopsi energi terbarukan tanpa modal awal besar. Sementara tarif penyimpanan energi supermurah membuka peluang listrik 24 jam tanpa PLTD berbahan bakar diesel, yang hingga kini masih dominan di wilayah timur.


INFOBOX DATA – Energi Bersih dan Indonesia

Tarif Listrik Terbarukan (BlueSun International, 2025)

  • Pembangkit listrik: 1,9 sen USD/kWh
  • Penyimpanan baterai: 1,4 sen USD/kWh
    (sumber: klaim BlueSun International, perlu verifikasi independen)

Tarif Listrik PLN (Indonesia, 2025)

  • Rumah tangga nonsubsidi: 1.699 Rp/kWh (≈10,3 sen USD/kWh)
  • Industri menengah: 1.115 Rp/kWh (≈6,8 sen USD/kWh)
    (sumber: PLN, 2023 – belum ada perubahan tarif 2024–2025)

Bauran Energi Indonesia

  • Energi fosil: ±85% (batubara 43%, gas 24%, minyak 18%)
  • Energi terbarukan: 14,1% (2023)
    (sumber: Kementerian ESDM, Handbook Energi 2023)

Kondisi Desa & PLTD

  • Masih ada >2.000 desa di kawasan timur yang bergantung pada PLTD
  • Biaya listrik PLTD: Rp2.500–Rp3.000/kWh
    (sumber: PLN & ESDM, 2023)

Potensi & Realisasi PLTS Indonesia

  • Potensi teknis PLTS: 3.295 GW
  • Kapasitas terpasang: ≈0,52 GW (2024)
  • Program strategis: 80 ribu desa PLTS
    (sumber: Kementerian ESDM & IESR, 2024)

Integrasi ke Perkotaan

Indonesia menghadapi keterbatasan lahan untuk PLTS skala besar, terutama di kota padat. Teknologi solar facade yang bisa dipasang di gedung pencakar langit atau kampus menawarkan solusi. Jakarta, Surabaya, hingga Medan bisa mengurangi ketergantungan pada jaringan berbasis fosil dengan memanfaatkan dinding dan atap gedung sebagai pembangkit mini.

Baca juga: 80 Ribu Desa Jadi Target PLTS, Akhir dari Ketergantungan Energi Fosil?

Panel surya di atap rumah mencerminkan adopsi energi terbarukan di tingkat masyarakat, mendukung target transisi energi nasional. Foto: Jan Van Bizar/ Pexels.

Hal ini sejalan dengan konsep green building yang mulai diadopsi, tetapi belum masif karena keterbatasan teknologi dan biaya.

Momentum Kebijakan dan Investasi

Pertanyaan besarnya, apakah Indonesia siap mengadopsi model serupa?

  • Kebijakan: Regulasi energi terbarukan di Indonesia masih sering berubah-ubah, membuat investor ragu.
  • Pembiayaan: Meski ada skema seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), mekanisme pembiayaan yang fleksibel seperti ditawarkan BlueSun belum banyak diterapkan.
  • Industri lokal: Jika model BlueSun bisa diadaptasi, Indonesia berpotensi mengembangkan manufaktur panel surya, baterai, dan integrasi sistem, bukan sekadar menjadi pasar.

Baca juga: Potensi Panas Bumi RI Besar, tapi Mengapa Investasinya Tersendat?

BlueSun mungkin beroperasi ribuan kilometer dari Nusantara, tetapi ide besarnya relevan. Transisi energi tidak harus mahal. Jika biaya benar-benar bisa ditekan, alasan menunda peralihan dari fosil semakin tipis.

Bagi pembuat kebijakan, ini waktunya membuka ruang bagi model integrasi teknologi, pembiayaan, dan implementasi agar Indonesia tidak tertinggal dalam perlombaan energi hijau global. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Quang Nguyen Vinh/ Pexels Hamparan panel surya skala besar menjadi simbol transisi menuju energi bersih yang lebih murah dan kompetitif dibandingkan fosil.
Bagikan