NZAM Hidup Kembali, Ambisi Nol Emisi Berbelok Arah

Setelah jeda akibat tekanan politik, koalisi manajer aset global ini kembali beroperasi—namun dengan komitmen iklim yang lebih longgar.

SETELAH sempat terhenti di awal 2025, Net Zero Asset Managers Initiative (NZAM) akhirnya kembali beroperasi. Namun, kebangkitannya justru menandai babak baru yang penuh kompromi. Di tengah tekanan politik global dan resistensi terhadap agenda hijau, inisiatif ini memilih jalur lebih lentur, bahkan sebagian pihak menyebutnya sebagai langkah mundur.

Dari Komitmen Ketat ke Fleksibilitas Longgar

Diluncurkan pada Desember 2020, NZAM awalnya menjadi simbol komitmen ambisius sektor keuangan terhadap dekarbonisasi. Dengan 30 manajer aset mengelola sekitar USD 9 triliun di awal pembentukan, koalisi ini berkembang menjadi lebih dari 325 penandatangan dengan total aset di atas USD 57 triliun hanya dalam empat tahun.

Seluruh anggota diwajibkan menyelaraskan portofolio investasinya dengan target net zero global pada tahun 2050. Komitmen ini bukan sekadar retorika hijau, tetapi terikat secara operasional, terintegrasi dalam strategi investasi, hubungan klien, hingga tata kelola perusahaan.

Baca juga: NZBA Bubar, Kredibilitas Transisi Hijau Kini Bertumpu pada Regulasi dan Pasar

Namun lanskap politik berubah cepat. Menurut laporan ESG Today, NZAM kini menghapus kewajiban eksplisit tersebut. Anggota tetap harus memiliki target dekarbonisasi, tetapi tanpa tenggat waktu 2050 dan dengan ruang fleksibilitas yang jauh lebih besar.

Tekanan Politik dan “Efek Trump”

Gelombang gerakan anti-ESG di Amerika Serikat menjadi pemicu utama pelonggaran ini. Politisi Partai Republik secara terbuka menuduh lembaga keuangan “terlalu tunduk” pada agenda iklim. Situasi kian intens setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS, mendorong banyak institusi keuangan berhitung ulang antara idealisme dan keberlanjutan bisnis.

Baca juga: Bank Besar Mundur dari Aliansi Net-Zero, Apa Sebabnya?

Dampaknya bukan hanya pada NZAM. “Saudara kembarnya,” Net-Zero Banking Alliance (NZBA), bahkan memilih bubar total. Banyak pihak menilai langkah NZAM kali ini adalah bentuk “bertahan hidup” di tengah tekanan politik yang tak bersahabat.

Antara Realisme dan Reputasi Hijau

Meski melemahkan mandat utamanya, NZAM tetap menegaskan bahwa risiko dan peluang iklim tidak bisa diabaikan. Mereka memperkirakan peluang bisnis hijau dari transisi energi bisa mencapai USD 60 triliun pada 2050, sementara potensi kerugian akibat dampak iklim mencapai USD 25 triliun.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Dengan kebijakan baru, NZAM akan melanjutkan penyusunan target dekarbonisasi secara internal dan melaporkan kemajuannya tiap tahun. Para penandatangan juga akan kembali dicantumkan di situs resmi NZAM mulai Januari 2026, sebagai sinyal bahwa koalisi ini belum benar-benar mati—meski napasnya kini tak sekuat dulu.

Tantangan bagi Dunia Investasi Hijau

Keputusan NZAM menimbulkan pertanyaan besar bagi dunia investasi berkelanjutan. Apakah sektor keuangan masih mampu menjadi motor transisi energi, atau justru mulai kehilangan arah?

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, dinamika ini perlu dicermati. Ketergantungan pada pendanaan global menuntut adaptasi terhadap perubahan lanskap ESG internasional. Lemahnya komitmen global bisa berarti semakin beratnya pembiayaan transisi energi di Asia Tenggara.

Baca juga: Ketika Politik Menabrak ESG, Putusan Texas dan Pelajaran untuk Indonesia

Namun di sisi lain, ruang fleksibilitas juga membuka peluang untuk inovasi, terutama bagi pelaku pasar domestik yang ingin mengembangkan mekanisme pembiayaan hijau tanpa tekanan standar global yang terlalu kaku.

Kebangkitan NZAM, meski penuh kontroversi, menjadi cermin dilema dunia keuangan hari ini: bagaimana menyeimbangkan tanggung jawab moral terhadap planet dengan realitas politik dan profit. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Andres Idda Bianchi/ PexelsPusat keuangan global tetap berpendar di malam hari, simbol dinamika dunia investasi hijau yang kini mulai berbelok arah.
Bagikan